Silsilah Mpu Bada: Berdiri Sendiri di Tengah Kontroversi Identitas Marga
SINTA OFFICIAL || Dairi – 3 Agustus 2025.
Nama Mpu Bada, atau yang juga dikenal sebagai Ompu Bada, kembali mencuat ke permukaan dalam diskusi sejarah dan kebudayaan Batak serta Pakpak. Perdebatan ini menghangat seiring dengan sikap tegas yang disampaikan oleh sejumlah tokoh adat, sesepuh, dan keturunannya yang menolak penyematan identitas marga Parna maupun Sigalingging pada garis keturunan Mpu Bada.
Sejak lama, berbagai pihak mencoba mengaitkan Mpu Bada dengan marga besar Parna, mengingat secara garis darah ia merupakan cucu dari Raja Sigalingging, melalui anak pertama Guru Mangarissan (atau dikenal juga dengan nama Sigorak). Namun dalam praktik adat dan sosial, keturunan Mpu Bada memilih berdiri sebagai entitas marga yang mandiri, yang memiliki sistem adat, bahasa, dan struktur sosial sendiri, yang berbeda dari marga Parna pada umumnya.
Perjalanan Sejarah dan Wilayah Persebaran
Mpu Bada dikenal sebagai tokoh pembuka wilayah baru di bagian barat kawasan Danau Toba. Ia memimpin ekspansi pemukiman ke arah Sindeas Manduamas, menjangkau wilayah-wilayah strategis di Kabupaten Dairi, Pakpak Bharat, hingga Boang di Kabupaten Aceh Selatan.
Dari perjalanannya ini, lahir sejumlah keturunan dengan marga-marga yang kini telah berkembang menjadi kelompok sosial dan adat yang kuat, antara lain:
Keturunan Mpu Bada yang Dikenal Luas:
Tendang – menetap di Boang, Aceh Selatan
Banurea – berasal dari Rea, berkembang di Salak, Dairi
Manik – terutama Manik Kecupak dan Pegindar di Dairi dan Pakpak
Bringin – Simerpara, Dairi
Gajah – tersebar di Manduamas, Barus Raya (Tapteng), Parmonangan (Taput), dan Pakkat (Dairi)
Berasa – berkembang di Parlilitan, Parmonangan, dan Sileang (Taput)
Dari , muncul marga-marga turunan lain yang juga kuat dalam adat dan eksistensi sosial:
Boangmanalu
Bancin
Saraan – daerah Keppas
Kombih – wilayah Boang
Brampu – Keppas
Sikap Tegas Menolak Identitas Parna
Meski ada benang merah genealogis ke Raja Sigalingging, banyak tokoh adat menyatakan bahwa identitas genealogis tidak secara otomatis menetapkan identitas kultural. Dalam konteks adat dan budaya lokal, mereka mengakui bahwa sistem nilai, bahasa, dan struktur adat keturunan Mpu Bada berbeda dan tidak dapat disamakan dengan Parna.
“Kami bukan bagian dari Parna. Kami punya tarombo, bahasa, adat, dan struktur marga sendiri. Kami tidak menolak sejarah, tapi kami tidak bisa dipaksa untuk melebur dalam identitas yang bukan milik kami,” ujar seorang tokoh adat dari Boang.
Sikap ini diperkuat dengan sejumlah catatan sejarah era kolonial Hindia Belanda, yang sudah mengakui keberadaan marga-marga seperti Banurea, Gajah, dan Bringin sebagai entitas sosial tersendiri — jauh sebelum munculnya integrasi atau penyatuan identitas marga Parna di wilayah seputar Danau Toba.
Struktur Tarombo Mpu Bada – Skema Ringkas
Raja Sigalingging
└── Guru Mangarissan (Sigorak)
└── Mpu Bada (Ompu Bada)
├── Rea → Banurea
│ ├── Boangmanalu
│ ├── Bancin
│ ├── Saraan
│ ├── Kombih
│ └── Brampu
├── Manik (Kecupak, Pegindar)
├── Bringin
├── Gajah
└── Berasa
Seruan untuk Pelestarian dan Pengakuan Identitas Lokal
Para tokoh adat, budayawan, serta akademisi dari wilayah Pakpak, Manduamas, hingga Boang sepakat bahwa pelestarian identitas lokal adalah bagian dari pelestarian martabat budaya. Mereka meminta agar:
Pemerintah daerah di tingkat kabupaten maupun provinsi mencatat dan mengakui tarombo Mpu Bada sebagai bagian dari kekayaan budaya lokal.
Lembaga adat dan sejarah nasional tidak menyamaratakan identitas marga berdasarkan garis besar turunan, namun mempertimbangkan eksistensi adat, sejarah pemukiman, dan struktur sosial yang sudah terbentuk secara independen.o
Generasi muda keturunan Mpu Bada didorong untuk memahami dan melestarikan jati diri mereka sendiri, melalui pendidikan budaya, penulisan sejarah lokal, dan penguatan identitas melalui forum-forum adat.
Mpu Bada bukan hanya tokoh sejarah, tetapi juga simbol dari keberagaman dan dinamika adat Batak dan Pakpak. Perjuangan keturunannya untuk mempertahankan identitas bukan semata soal silsilah, tapi soal pengakuan atas eksistensi budaya yang hidup dan tumbuh di akar rumput. Sudah saatnya sejarah lokal tidak hanya dilihat dari garis besar, tetapi dihargai dalam setiap detail kulturalnya.
(TIM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar